Selamat Datang di Personal Blog Saya

the template created by Templates Block.

Disini saya berharap akan kritik maupun saran dari temen -teman untuk perkembangan blog ini kedepannya (positif)

Selamat Berbagi.

Selasa, 04 Oktober 2011

Cara Penyelesaian Kasus

I. PENDAHULUAN.
Pada waktu menjalani studi, mahasiswa dalam kuliah dan tentamen dihadapkan (dikonfrontasi) pada kasus. Sebuah kasus adalah suatu pemaparan sejumlah fakta, hubungan-hubungan dan kejadian-kejadian yang di dalamnya tersembunyi satu atau lebih masalah yuridis.
Berikut ini diberikan pedoman bagi penyelesaian suatu kasus.
Proses penyelesaian suatu kasus bersifat relatif kompleks (majemuk). Proses ini dapat dibuat menjadi jelas dengan cara menguraikan (menjabarkan) dan membagi proses tersebut kedalam tujuh tahap/fase (atau langkah). Tentang hal itu, orang harus menyadari bahwa batas-batas antara langkah-langkah ini pada umumnya tidak dapat diberikan secara eksak; seringkali langkah-langkah ini bertumpuan, atau langkah berikut dari suatu langkah adalah langkah yang lain dari urut-urutan tujuh langkah yang tercantum di bawah ini, yang dengannya orang dapat sampai pada penyelesaian suatu kasus.


Tujuh langkah yang dimaksud di atas adalah:
1.   meletakkan kasus dalam sebuah peta (memetakan kasus) atau memaparkan kasus dalam sebuah ikhtisar (peta), artinya: memaparkan secara singkat duduk perkara dart sebuah kasus (menskematisasi);
2.   menterjemahkan kasus itu kedalam peristilahan yuridis (mengkualifikasi, pengkualifikasian);
3.   seleksi aturan-aturan hukum yang relevan;
4.   analisis dan penafsiran (interpretasi) terhadap aturan-aturan hukum itu;
5.   penerapan aturan-aturan hukum pada kasus;
6.   mengevaluasi dan menimbang (mengkaji) argumen-argumen dan penyelesaian;
7.   perumusan (formulasi) penyelesaian.

II. TUJUH LANGKAH PENYELESAIAN KASUS.
Langkah 1: pemaparan singkat duduk perkara.
Langkah ini berkenaan dengan penataan sekelompok fakta-fakta dan kejadian-kejadian hingga mewujudkan suatu keseluruhan yang jelas dan berkerangka umum (berwujud sebuah ikhtisar) atau suatu gambaran umum menyeluruh (overzichtelijk).
 Langkah 2: penterjemahan kasus kedalam peristilahan yuridis.
Fakta-fakta dan kejadian-kejadian yang telah tertata itu selanjutnya harus diterjemahkan kedalam peristilahan yuridis langkah ini disebut tindakan mengkualifikasi. Hal ini perlu, karena (lihat langkah 3) aturan-aturan hukum yang harus digunakan untuk menghasilkan suatu penyelesaian, dirumuskan dalam peristilahan yuridis. Pada fase ini, dengan demikian, yang dilakukan adalah meletakkan hubungan antara fakta-fakta dan aturan-aturan hukum.
Langkah 3 : seleksi aturan-aturan hukum yang relevan.
Setelah langkah 1 (penataan kejadian-kejadian) dan langkah 2 (tindakan pengkualifikasian yuridis), maka berdasarkan fakta- fakta dan kasus yang telah diterjemahkan kedalam peristilahan hukum c.q. yang telah dikualifikasi, harus ditemukan aturan-aturan hukum yang dapat diterapkan. Selama berlangsungnya fase ini orang dikonfrontasikan (dihadapkan) pada pertanyaan : dimana dan dengan cara apa saya temukan aturan-aturan hukum yang dapat diterapkan pada kasus itu. Tempat menemukan dan sumber-sumber pengenalan (hukum) atau sumber hukum formal yang penting dari hukum kita adalah perundang-undangan, putusan hakim (peradilan), dan kepustakaan hukum dalam majalah-majalah dan buku-buku.
Langkah 4: analisis dan interpretasi aturan-aturan hukum.
Tentang aturan-aturan hukum, hendaknya kita jangan hanya ingat pada aturan-aturan hukum yang tercantum dalam pasal-pasal undang-undang saja. Banyak aturan hukum (yang dinamakan hukum tidak tertulis) yang tidak secara harafiah dapat ditemukan kembali dalam undang-undang, tetapi dalam perjalanan waktu dibentuk dan dikembangkan oleh peradilan. Segera setelah aturan-aturan hukum yang dapat diterapkan ditemukan dan diseleksi, maka isi (dari teks) dan aturan hukum itu harus ditetapkan dan diuraikan (dijelaskan, ditafsirkan).
Langkah 5: penerapan aturan-aturan hukum pada kasus.
jika arti dari suatu aturan hukum dan akibat-akibat hukum yang terkait pada aturan hukum itu melalui penelaahan, analisis dan interpretasi telah ditetapkan, maka apa yang telah ditemukan itu harus diterapkan pada kasus yang tengah dihadapi.
Sesudah ini (dibawah) akan diberikan suatu uraian tentang penerapan yang telah diberikan (diputuskan) oleh Hoge Raad pada aturan-aturan hukum dalam peristiwa-peristiwa konkret tertentu.
Langkah 6: Mengevaluasi dan menimbang argumentasi dan penyelesaian.
Sering terjadi bahwa terhadap satu aturan hukum dapat diberikan lebih dari satu interpretasi. Untuk masing-masing interpretasi itu diajukan argumen-argumen untuk mendukungnya. Pada umumnya dimungkinkan bahwa interpretasi yang bersangkutan telah turut diberikan oleh konsekuensi-konsekuensi yang terkait padanya bagi (pihak-pihak dalam) kasus tersebut.
Langkah 5 (penerapan aturan hukum pada kasus)
pada umumnya juga tidak dapat dipandang terlepas dan 
langkah 6. Sekarang juga tampak jelas bahwa fase-fase (langkah-langkah) itu dalam proses penyelesaian suatu kasus saling bertumpuan (jalin-menjalin).
Sekali gus juga akan menjadi jelas bahwa hal menimbang pelbagai argumen yang berbeda-beda dapat ditentukan (dipengaruhi) oleh sikap dari yuriis terhadap gejala-gejala dan masalah masalah individual dan kemasyarakatan.
Tentang permasalahan yang muncul pada langkah ini, nanti akan diberikan penjelasan pendek.
Langkah 7 : formulasi penyelesaian.
Jika setetah menjalani pelbagai fase akhirnya penyelesaian untuk kasus itu ditemukan, maka penyelesaian itu harus dipaparkan dalam bahasa yang jelas dan dapat dipahami, hal demikian itu disertai dengan suatu susunan yang berkerangka umum dan pembagian serta penanganan butir demi butir dari kasus itu.

III. PENJELASAN LANGKAH-LANGKAH PENYELESAIAN KASUS.
LANGKAH 1. SKEMATISASI. (Perumusan duduk perkara)
Penjelasan.
Berikut ini suatu penjelasan tentang langkah pertama: hal menata duduk perkara dari kasus, hal menskematisasi (mengikhtisarkan). Orang mengharapkan dari seorang yuris bahwa Ia memberikan suatu penilaian (putusan) tentang masalah-masalah yang timbul karena kejadian-kejadian konkret.

Kompleks fakta-fakta, relasi-relasi dan kejadian-kejadian harus ditata dan diletakkan dalam suatu tata urut-urutan. Soal-soal pokok dan soal-soal sampingan harus dipisahkan yang satu dari yang lainnya.

Sebuah kasus, suatu masalah, yang didalamnya tersembunyi suatu persoalan hukum (atau ”suatu tumpukan tebal dokumen”, ”een lijvig dossier”) adalah sebuah teka-teki yang dengan penataan kejadian-kejadian (berdasarkan suatu skema, suatu kerangka umum kronologis, suatu sketsa situasi, atau sejenis itu), peristiwa itu diuraikan (dijabarkan) dan fakta-fakta disusun dan diletakkan dalam suatu kerangka umum (ikhtisar) serta diletakkan dalam suatu skema. Hal penetapan dan pengungkapan gambaran umum menyeluruh fakta-fakta hanya berurusan dengan fakta-fakta yang relevan, artinya fakta-fakta yang dapat berpengaruh terhadap penyelesaian yang pada akhirnya harus ditemukan.
Pada tempat ini sesungguhnya kita telah sampai pada masalah inti pertama: atas dasar apa dapat diputuskan apakah suatu fakta itu relevan atau tidak ? Hal itu hanya dapat ditentukan berdasarkan pengetahuan tentang aturan-aturan hukum (yang dapat diterapkan).
Pengetahuan tentang isi dan aturan hukum yang dapat diterapkan ikut menentukan bagi yuris pada waktu Ia menseleksi fakta-fakta yang mana yang dianggap relevan. Di muka sudah dikemukakan bahwa langkah-langkah yang telah disebutkan itu seringkali saling bertumpuan, kadang-kadang harus diletakkan dalam suatu urut-urutan yang lain, atau bahkan dapat diambil dalam satu kali (dilakukan dengan satu tindakan sekaligus). Penataan duduk perkara dan kasus (langkah 1) dengan jalan memaparkan (mengungkapkan) suatu kerangka umum fakta-fakta yang relevan seringkali berjalan seiring dengan pencarian (penemuan) dan seleksi aturan-aturan hukum yang dapat diterapkan (langkah 3). Pertautan antara kedua kegiatan ini diletakkan oleh pekerjaan mengkualifikasi (langkah 2): meletakkan fakta-fakta, relasi-relasi dan kejadian-kejadian ”di bawah aturan-aturan hukum”, atau ”dalam ruang-lingkup keberlakuan aturan-aturan hukum”.

LANGKAH 2. MENGKUALIFIKASI
A. Umum.
Setelah langkah 1 selesai dikerjakan dan fakta-fakta, relasi-relasi dan kejadian-kejadian sudah tertata, maka diperoleh suatu kerangka (gambaran) umum tentang Inti-inti dari kasus itu. Selanjutnya yang harus dikerjakan adalah ”menterjemahkan” gambaran umum tersebut kedalam peristilahan yuridis, yakni mengkualifikasi secara yuridis (langkah 2).

Sebuah kasus atau sebuah masalah yang dihadapi pada umumnya menampilkan diri dalam bahasa percakapan sehari-hari. Pencari keadilan (yustisiabel) tidak akan menyatakan diri dalam istilah-istilah yuridis yang spesifik (khas). Istilah ”membeli” sering dimanfaatkan untuk menyatakan bahwa orang menjadi pemilik dari suatu benda. Dalam bahasa hukum, dengan perkataan ”membeli” ditunjukkan hal mengadakan perjanjian obligatoir yang (dikemudian) akan menimbulkan penyerahan (levering) dan perolehan hak milik (eigendomsver krijging).

Jika orang hendak menerapkan aturan-aturan hukum yang relevan (langkah 3), yang memang sudah diungkapkan dalam penistilahan yuridis, pada suatu kasus, maka fakta-fakta, relasi-relasi dan kejadian-kejadian harus diletakkan ”dibawah aturan-aturan hukum”, artinya dikualifikasi dalam peristilahan yuridis.
Sama seperti hal menata duduk perkara dari kasus dan terkait padanya seleksi relevan tidaknya fakta-fakta (langkah 1) adalah penting bahwa suatu pengetahuan elementer tentang aturan-aturan hukum positif mutlak diperlukan. Hanya dengan pengetahuan ini yang diperoleh yuris lewat studi, dimungkinkan untuk melakukan suatu seleksi fakta-fakta yang yuridis relevan dan kualifikasi yang sesuai dengan apa yang seharusnya dapat dijalankan.

B. Beberapa contoh.
Beberapa fakta dan kualifikasi yunidisnya:
”saya besok akan memesan buku itu” - saya besok akan menerima penawaran untuk menutup suatu perjanjian jual-beli tentang buku itu.
— “maukah anda sekarang mengirimkan buku itu kepada saya ?“-- maukah anda sekarang memenuhi kewajiban anda untuk melakukan penyerahan (buku itu) berdasarkan penjanjian jual-beli?
— ”bolehkah saya memiliki sepeda itu ?” — maukah anda mempertimbangkan untuk menutup perjanjian hibah dengan saya?

Kegunaan kualifikasi ini ada dua :
Karena aturan-aturan hukum itu dirumuskan dalam peristilahan yuridis, maka dalam fase ini (langkah 2) diletakkan hubungan antara fakta dan hukum. Dialog antar-yuris pada umumnya dilakukan dalam suatu bahasa hukum. Sama seperti tukang roti, tukang daging, dokter dan akhli komputer, juga para yuris memiliki peristilahan disiplin ilmunya sendiri. Peristilahan ini terdiri atas baik istilah-istilah yang juga dipakai dalam bahasa percakapan biasa (perjanjian, pemecatan, milik, perkawinan, rektifikasi, kuasa, dsb.) maupun -- dan hal itu lebih sering terjadi -- istilah-istilah yang tidak berasal dari percakapan sehari-hari (misalnya perbuatan hukum, mengizinkan verstek, peremptoir, subrogasi, endosemen, kewenangan menentukan, titel van aankomst atau dasar hukum yang membuat orang menjadi yang berhak yang bersifat kebendaan, badan hukum).

Karena aturan-aturan hukum itu dirumuskan dalam peristilahan yuridis dan para yuris pada umumnya menggunakan peristilahan tersebut dalam ucapan dan tulisan mereka, maka fakta-fakta itu harus diungkapkan (dipaparkan) sebagai duduk perkara secara yuridis. Walaupun dapat dianjurkan agar seyogianya sebanyak mungkin digunakan pemakaian bahasa yang dapat dipahami oleh awam, namun dalam beberapa hal penggunaan ungkapan-ungkapan teknis yang hanya dapat dipahami oleh para yuris, tidak dapat dihindarkan. Namun hendaknya orang menyadari bahwa bahasa hukum para yuris itu tertutup (tidak dapat dimasuki) dan bagi awam tidak dapat dipahami.

C. Pertanyaan yuridis.
Dengan suatu pra-pengetahuan yang adekuat tentang aturan-aturan hukum yang berlaku, dapatlah dilakukan suatu pengkualifikasian fakta-fakta dan sejenisnya dengan cara yang cukup cermat. Untuk pengecekan, telusuri kembali pertanyaan apakah mungkin fakta fakta tertentu dan sejenisnya dengan pengetahuan yang sudah ada pada anda, (mungkin) masih mengimplikasikan kualifikasi-kualifikasi lain. Jadi, kaitkan kembali pada fase 1.

Pertanyaan akhir dari pekerjaan pengkualifikasian yuridis adalah hal merumuskan pertanyaan apa yang sesungguhnya menjadi persoalan dalam kasus itu, suatu pertanyaan yuridis. Dalam kebanyakan kasus, pertanyaan-inti ini muncul pada akhir, dan dari anda diharapkan suatu jawaban terhadap pertanyaan itu.
Jika anda berkarya dalam praktek hukum, maka anda sendiri berdasarkan problematik atau persoalan (yang diajukan oleh klien anda) harus menemukan apa yang menjadi masalah inti dalam suatu kasus tertentu.

Catatan: setelah langkah 1 (skematisasi fakta-fakta dan kejadian-kejadian) dan langkah 2 (pekerjaan kualifikasi yuridis, yang bermuara pada pertanyaan-yuridis), yang harus dipaparkan dalam cahaya (dari pengetahuan anda tentang) isi aturan-aturan hukum yang dapat diterapkan terhadapnya, maka yang sekarang menjadi persoalan adalah bahwa pada fakta-fakta dan sejenisnya dari kasus yang telah diterjemahkan c.q. dikualifikasi secara yuridis, harus ditemukan aturan atau aturan-aturan hukum yang dapat diterapkan.

LANGKAH 3. SELEKSI ATURAN-ATURAN HUKUM YANG RELEVAN.
Pada pembahasan dari langkah-langkah 1 (penataan duduk perkara dari kasus, penskematisasian) dan 2 (penterjemahan fakta-fakta ke dalam peristilahan yuridis, pengkualifikasian) sudah jelas bahwa mahasiswa harus mengetahui jalannya kedalam semua material- informasi yang dari dalamnya istilah-istilah hukum dan aturan-aturan hukum dapat dikenali (diketahui). Untuk itu sudah dikemukakan bahwa sumber-sumber yang penting adalah : perundang-undangan, peradilan dan kepustakaan hukum dalam majalah-majalah dan buku-buku.
Terutama teks undang-undang mewujudkan suatu bagian penting dan instrumentarium mahasiswa. Berkaitan dengan itu perlu dikemukakan bahwa tidak dimaksudkan bahwa teks-teks itu harus dihafalkan, melainkan bahwa material-informasi perundang-undangan itu dapat digunakan dengan cara yang adekuat.

LANGKAH 4. ANALISIS DAN INTERPRETASI ATURAN-ATURAN HUKUM.
A. Membaca, menguraikan dan menginterpretasi aturan hukum.
Dalam bagian ini dari paragraf-paragraf benikut kita mengarahkan diri pada isi dan Undang-undang dan aturan-aturan hukum yang ditemukan dalam putusan-putusan hakim (vonis).
Syarat pertama untuk dapat mengenali (mengetahui) isi dari suatu aturan hukum adalah pembacaan teks dengan baik. Itu tampaknya suatu catatan (pernyataan) yang berlebihan, tetapi hanya tampaknya saja. Tidak semua aturan hukum dirumuskan secara jelas.
Untuk memperbesar pemahaman adalah perlu (berguna) untuk menganalisis dan meng-ikhtisarkan (menskematisasi) teks demikian secara ilmu bahasa (gramatikal).
Syarat kedua untuk dapat mengenali isi dari suatu aturan hukum adalah pengetahuan tentang pengertian-pengertian yang digunakan dalam aturan hukum itu. Apa arti misalnya suatu benda terdaftar (registergoed) itu ? Apa pengalihan (overdracht) itu ? Apa arti itikad balk (te goedentrouw) itu? Untuk memperoleh arti dari pengertian-pengertian yang demikian itu, kadang-kadang orang akan mencari pada aturan-aturan undang-undang tertentu.
Hal memperoleh arti dan suatu pengertian atau istilah tidak selalu dapat dilakukan dengan cara yang demikian sederhana, terlepas dari hal bahwa arti yang telah ditemukan itu juga jika dipikirkan lebih mendalam sering tidak terlalu pasti dan mapan.
Untuk dapat bekerja dengan undang-undang dan aturan-aturan yang tercantum didalamnya, selalu diperlukan untuk menguraikan (menjelaskan) atau menginterpretasi Undang-undang itu. Sebagaimana yang sudah ditulis oleh Paul Scholten: ”Tiap undang-undang, juga yang terbaik dirumuskan, memerlukan penafsiran.”

B. Metode-metode penafsiran (dahulu dan sekarang).
B.1. Penafsiran Gramatikal (Penafsiran Bahasa).
Sarana tertua, yang dimiliki yuris pada penafsiran adalah penafsiran gramatikal (penafsiran menurut bahasanya). Pada metode ini, orang menafsirkan undang-undang dengan jalan menentukan arti dan kata-katanya berdasarkan pemakaian secara umum atau secara yuridis.

B.2. Penafsiran Historis.
Sarana kedua yang dimiliki yuris pada penafsiran aturan-aturan undang-undang adalah apa yang dinamakan penafsiran sejarah undang-undang (wetshistorische interpretatie). Dalam hal itu, yuris menelusuri apa yang tepatnya diinginkan oleh pembentuk undang-undang dengan aturan tertentu. Untuk itu, maka dipelajari dokumentasi parlementer atau ”parlementaire stukken” (nota-nota, memori-memoni, notulensi perdebatan dan dengar pendapat, korespondensi antara eksekutif dan legislatif) yang pada proses terjadinya undang-undang itu memainkan peranan. Metode pendekatan ini dapat dilengkapi dengan suatu penafsiran sejarah hukum (rechtshistorische interpretatie), artinya bahwa orang juga menelaah hukum yang berlaku sebelum saat terbentuknya undang-undang itu, dan sejauh mana pembentuk undang-undang hendak menyimpang dari padanya. Juga melalui jalan ini, sejarah dari suatu ketentuan atau suatu institusi hukum (figur hukum), yang ke dalamnya ketentuan itu merupakan bagian dari padanya, dapat menjadi objek penelitian bagi yuris.

B.3. Penafsiran Sistematis.
Disamping metode-metode penafsiran yang sudah dibicarakan terlebih dahulu, pada akhirnya yuris masih memiliki kemungkinan untuk menarik pelajaran dari sistem perundang-undangan untuk dengan cara demikian menentukan arti dari suatu aturan undang-undang dalam kerangka keseluruhan. Dalam hal itu, maka kita berbicara tentang penafsiran sistematis.

B.4. Penafsiran Teleologis.
Namun perkembangan tidak berhenti. Perubahan-perubahan mendasar dalam tatanan ekonomi dan kemasyarakatan kini menyita perhatian. Perhatikan saja proses industrialisasi Aturan-aturan masih tetap sama, tetapi lingkungan yang didalamnya aturan-aturan itu berfungsi berubah banyak sekali.
Pada akhirnya, hakim tidak dapat lagi menutup mata terhadap perubahan ini. Lebih dari itu, juga andaikata ia menginginkannya, namun hakim itu tetap saja tidak dapat menghindari melihat perkembangan didalam masyarakat itu dan ia sebagai warga masyarakat itu oleh karenanya akan terpengaruh. Perubahan lingkungan itu membawa akibat bahwa pandangan hakim terhadap aturan aturan berubah. Cara memandang sesuatu selalu ikut ditentukan oleh apa yang ada didalam lingkungan.
Dengan cara demikian, maka terdapat ruang untuk cara penafsiran yang lain, pasti demikian setelah orang perlahan-lahan melepaskan dogma bahwa semua hukum dapat ditemukan dalam undang- undang. Sekarang terbuka kemungkinan bagi penafsiran yang memperhitungkan lingkungan yang berubah dan pengetahuan serta pandangan hakim tentang hal itu. Hakim lebih memperhitungkan akibat-akibat dari keputusannya.
Berbicara tentang tentang penafsiran teleologis tidak boleh melewatkan peristiwa (kasus) yang mungkin paling jelas yang di dalamnya Hoge Raad membiarkan dirinya pada penafsiran dibimbing oleh kebutuhan masyarakat. Dengan itu Hoge Raad (HR) telah memberikan pada figur (institusi) hukum ”perbuatan melanggar hukum” (onrechtmatige daad) suatu dimensi yang telah mempunyai arti yang besar bagi perkembangannya, arrest HR 31-01-1919, W 10 365 (Lindenbaum/Cohen).

B.5. Penafsiran analogis.
Dalam contoh yang disebutkan diatas kita telah melihat bahwa Hoge Raad memang masih tetap menerapkan suatu pasal undang-undang secara formal, sekalipun bahwa ia menginterpretasi pasal tersebut sangat luas dalam hubungannya dengan kebutuhan-kebutuhan dari masyarakat. Suatu kategori pengambilan putusan berikutnya adalah yang didalamnya Hoge Raad tidak menginterpretasi suatu aturan undang-undang secara luas sehingga suatu kejadian tertentu dapat dimasukkan kedalamnya (diletakkan dibawahnya), tetapi cara yang dengannya Hoge Raad menyatakan bahwa suatu aturan yang terdapat dalam BW dengan cara yang sama dapat diberlakukan bagi suatu situasi lain, tetapi yang kurang lebih dapat disamakan (dengan situasi yang diatur oleh aturan dan BW tersebut). Kita menamakan ini penerapan undang-undang secara analogis.

B.6. Pengaruh dan asas-asas umum.
Suatu perkembangan lain yang sangat penting yang ditimbulkan oleh zaman ”modern” adalah penafsiran aturan-aturan hukum dengan mengacu (berorientasi) pada asas-asas umum (algemene beginselen).
Yang sudah pasti adalah bahwa sesudah Perang Dunia Kedua, tendensi penafsiran ini telah sangat berpengaruh terhadap cara berpikir yuridis. Tentang hal itu misalnya dapat kita lihat pada asas kewajaran (kemasuk-akalan, redelijkheid) dan kepatutan (billijkheid), yang semakin menguasai hukum kontrak. Contoh-contoh lain adalah asas-asas yang berkaitan dengan perlindungan terhadap pihak ketiga yang beritikad baik pada perolehan benda-benda dan diskusi tentang pertanyaan apakah hukum kita mengenal ”hal memperkaya diri secara tidak adil” sebagai asas umum.
Untuk selebihnya masih sering demikian bahwa Hoge Raad mendukung suatu asas tertentu sebanyak mungkin dengan pasal-pasal undang- undang yang relevan.

B.7. Pilihan bagi satu metode.
Di atas kami telah memaparkan metode-metode penafsiran apa yang didalam perjalanan waktu telah termasuk kedalam kemungkinan-kemungkinan (untuk dipilih). Sekarang persoalannya adalah metode yang mana yang sesungguhnya harus digunakan dalam sebuah kasus konkret ? Terhadap pertanyaan itu tidak dapat diberikan satu jawaban tunggal. Tiap metode memiliki ciri-cirinnya sendiri, ”kekhasan-kekhasan”-nya sendiri. Lebih dan itu, ia tergan tung pada materi hukum yang untuknya orang mencari suatu penyelesaian, pada usia dari perundang-undangan, dsb.

Di masa lalu memang telah ”diperjuangkan” suatu pedoman yang lebih kaku pada pemilihan metode-metode interpretasi, namun berlawanan dengan harapan itu orang tidak pernah lebih jauh dari sekedar petunjuk-petunjuk yang kabur. Terkait padanya harus dicatat bahwa tentu saja sangat sulit untuk memperoleh pemahaman tentang motif-motif sesungguhnya dari hakim dalam mengambil suatu keputusan tertentu. Kita hanya dapat melihat argumen-argumen apa yang dikemukakan secara eksplisit oleh hakim didalam vonisnya.

B.8. Penafsiran Normatif.
Akhirnya harus ditunjukkan bahwa apa yang telah dikemukakan terdahulu pada pokoknya berkaitan dengan penafsiran aturan-aturan pokok yang umum. Dalam hukum perdata sesungguhnya tidak hanya, dan bahkan tidak pertama-tama, aturan-aturan umum ini yang penting, tetapi arti yang sangat penting diberikan pada perbuatan-perbuatan hukum dari orang-orang. Kita ingat saja pada perbuatan hukum yang paling penting, ”perjanjian”. Sama seperti penafsiran suatu aturan hukum telah menimbulkan masalah-masalah, juga penafsiran perbuatan-perbuatan hukum tidak bebas dari perdebatan. Hal yang menimbulkan perdebatan besar adalah seberapa besar kepentingan (arti penting) dalam penafsiran suatu perbuatan hukum harus diberikan pada kemauan dari pihak yang melakukan perbuatan hukum itu. Tentang hal itu sejumlah ilmuwan hukum penulis membela pandangan untuk tidak melibatkan kemauan dari pelaku pada penafsiran, tetapi untuk bentolak dari perbuatan itu sendiri dan mengkaitkan akibat-akibat hukum tertentu pada perbuatan tersebut berdasarkan kaidah kaidah hukum. Inilah yang kemudian dinamakan penafsiran normatif.

LANGKAH 5. MENERAPKAN ATURAN HUKUM PADA KASUS.
A. Umum.
Jika arti dari aturan dan akibat-akibat hukum yang terkait pada aturan itu oleh analisis aturan hukum yang dapat diterapkan (langkah 4), yakni dengan analisis teks dari undang-undang dan putusan pengadilan yang berkaitan dengan aturan hukum itu, dan mempelajarinya sudah ditetapkan, maka apa yang telah ditemukan itu harus diterapkan pada kasus yang bersangkutan (langkah 5). Di sini dimulai suatu tahap penting dalam proses penyelesaian peristiwa (kasus) yang dihadapkan kepada anda. Pada titik inilah sebenarnya ditentukan secara konkret akibat-akibat yuridis dari aturan-aturan hukum yang dapat diterapkan.
Tidaklah demikian halnya bahwa (misalnya) hakim dengan satu tindakan menekan tombol dalam suatu situasi konkret memunculkan (menghasilkan) apa ”hukum”-nya. Untuk itu telah diberikan ilustrasi bahwa hakim -- tetapi hal itu berlaku untuk setiap yuris yang dalam situasi tertentu diminta memberikan opini hukum (legal opinion) -- memiliki suatu ruang gerak yang relatif besar untuk mencapai suatu putusan dalam suatu peristiwa konkret. Hakim (c.q. yuris) tidak sepenuhnya terikat pada sumber-sumber hukum formal (misalnya undang-undang). Ia sering tidak dapat menggali semua argumen dari sumber-sumber itu dan kadang kadang secara keseluruhan tidak terdapat argumen yang dapat diambil untuk mendukung putusannya. Bahwa pengambil putusan hukum (hakim) dan penerap hukum (advokat, penasihat hukum, dsb.) bukan komputer yang secara langsung mengail putusan-putusan yang siap-terap resp. penerapan-penerapan dan aturan-aturan hukum, akan dipaparkan lebih lanjut dibawah ini.

B.1. Hal menerapkan.
Dalam tahap prosedur penyelesaian kasus ini (langkah 5), konstruksi yuridis yang sementara ini telah dibangun (disusun), dikonfrontasikan pada semua fakta dan keadaan dari peristiwa konkret itu. Ini tampaknya mundur satu langkah, sebab bukankah kita dalam dua langkah pertama dari proses penyelesaian itu secara luas sudah berurusan dengan fakta-fakta dari kasus itu? Benar, tetapi disana (pada tahap-tahap itu) tujuannya adalah untuk meng abstraksi fakta-fakta dan peristiwa itu sendiri dengan maksud untuk menelusuri (mencari) aturan-aturan yang dapat diterapkan, sedangkan disini kita justru terarah pada semua keadaan dari peristiwa itu untuk dapat mengkonkretkan aturan itu menjadi satu putusan. Jadi, hanya tampaknya saja suatu langkah mundur. Pada hakikatnya Ia merupakan ”suatu lompatan besar ke muka” dalam arah menuju suatu putusan yang adil dan patut.
Setelah aturan-aturan (dan interpretasinya) menempatkan kita pada suatu jalur yang benar, maka sekarang harus ditentukan sejauh mana kita dengan penerapan aturan itu (dapat) berjalan. Kemungkinan dilakukannya suatu penyimpangan dari aturan dalam hubungannya dengan suatu putusan yang patut pada suatu kejadian khusus, didalam peradilan baru diakui sesudah suatu pertarungan (perdebatan, polemik) keras diantara para ilmuwan hukum yang terkenal. Sesungguhnya baru sesudah Perang Dunia Kedua, Hoge Raad membuka ruang bagi peradilan untuk memperhitungkan keadaan-keadaan, sering khusus, dari suatu peristiwa.

B.2. Itikad baik dalam hukum perikatan.
Pendirian lama dan Hoge Raad yang berpendapat bahwa aturan- aturan undang-undang menentukan segala-galanya, dapat ditemukan kembali dalam dua arrest yang terkenal dan tahun-tahun dua puluhan dan tiga puluhan dari abad ini. HR januari 1926, N.J. 203, Sarong, dan HR 2 januari 1931, N.J. 1931, 274, Weefgetouwen.
Dalam arrest-arrest ini, Hoge Raad memberikan pertimbangan bahwa : ”... hakim tidak berwenang ... atas dasar penilaian hukumnya tentang kepatutan dan itikad baik, mengesampingkan, dan menggantikannya dengan suatu aturan lain, undang-undang yang oleh pembuat undang-undang yang dengan memperhitungkan semua kepentingan yang bersangkutan dipandang sebagai yang akan memberikan akibat yang paling tepat dan adil; Sesudah Perang Dunia Kedua, Hoge Raad, mula-mula berhati-hati, tetapi sesudahnya semakin jelas, melepaskan ajarannya yang tadi dikemukakan. Petunjuk yang sangat jelas dari perubahan pendirian mi adalah putusan Hoge Raad dalam perkara Kessels-Kessels.
Dalam proses ini dua pihak berdiri saling berhadapan. Dua-duanya adalah akhli waris dalam suatu pewarisan. Salah seorang dari akhli waris itu, Matheus Kessels, sesungguhnya masih mempunyai utang kepada pewaris, yang dengan demikian sekarang menjadi utang kepada harta peninggalan. Untuk hal itu pasal 1335 BW (1299 KUHPerd.) mengatur bahwa Ia harus dibayar. Pasal ini menurut HR memberikan juga kepada para akhli waris lain begitu saja hak untuk menuntut bagiannya dan jumlah terutang terlepas dan apakah sekarang siberutang (debitur) itu adalah sesama akhli waris atau bukan. Matheu membantah dengan dalil bahwa pasal 1132 BW (1086 KUHPerd.) di sini meletakkan suatu perhitungan wajib atau kompensasi wajib (gedwongen verrekening) yang menghalangi penerapan pasal 1335. Menurut Hoge Raad, bantahan itu sesungguhnya bukan argumen (tidak menolong, bukan alasan yang kuat), HR 10-12-1946, NJ 1947, 59. Selanjutnya HR mempertanyakan (menyatakan dalam bentuk pertanyaan):
”bahwa ia (Matheus Kessels, penulis) dibawah keadaan- keadaan khusus (garis bawah dari penulis) akan dapat menolak penagihan tuntutan itu dengan menunjukkan bahwa
-- dengan memperhatikan kemungkinan kompensasi atau diperhitungkan (verrekening) tanpa merugikan sesamanya (yakni para sesama akhli waris; penulis) berhadapan dengan kerugian besar bagi dirinya -- penagihan ini akan bertentangan dengan apa yang akan diharuskan (dipreskripsi) oleh asas-asas itikad baik dan kepatutan dalam peristiwa yang dihadapi itu.”
Garis yang dari dalamnya dapat ditunjukkan, yang didalamnya itikad baik menjadi faktor yang penting, oleh HR pada tahun-tahun berikutnya ditarik terus dengan antusiasme.
Pada tahun 1967, perkembangan dari ajaran itikad baik dalam hukum perikatan memperoleh dorongan baru ketika HR memberikan putusan dalam perkara yang dilancarkan Saladin terhadap HBU.
Hollandse Bankunie (HBU) telah membenitahu tuan W. Saladin bahwa akan terbuka suatu peluang finansial. Ia dapat membeli 6000 saham dari sebuah firma tertentu dengan harga $6 per lembar, dengan kepastian bahwa akan ada makelar saham lain yang dalam waktu yang tidak terlalu lama akan bersedia untuk membelinya dengan harga $7 per lembar. Bank tidak ingin merahasiakan peluang ini kepada kliennya, tetapi ia tidak mau memikul per tanggungjawaban apapun jika terjadi sesuatu yang tidak diharapkan sehingga tidak berlangsung sebagaimana mustinya. Ternyata terjadi apa yang tidak diharapkan itu. Makelar saham itu hanya membeli sebagian dari 6000 saham itu, dan Ia melakukannya lama sesudah jangka waktu yang diperhitungkan semula. Saladin menyatakan bahwa bank bertanggung gugat sekalipun Saladin dan HBU telah menyepakati klausula-eksonerasi, artinya klausula bahwa HBU membebaskan diri dari semua pertanggung-gugatan.
Hoge Raad (HR 19-05-1967) menimbang:
bahwa jawaban atas pertanyaan dalam hal-hal apa ... suatu pelandasan diri (een beroep) atas persyaratan ini (i.c. oleh HBU; penults) tidak bebas, dapat tergantung pada penilalan atas sejumlah keadaan seperti:
— berat-ringannya kesalahan, juga berkaitan dengan sifat dan bobot dan kepentingan yang terkait pada suatu perilaku;
— sifat dan isi lebih lanjut dari perjanjian...;
— kedudukan kemasyarakatan dan hubungan diantara para pihak;
— cara bagaimana persyaratan itu terbentuk;
— derajat sejauh mana pihak-lawan telah menyadari lingkupan dan persyaratan itu; Jadi, dalam keadaan-keadaan tertentu, pelandasan diri dari HBU atas dasar klausula-eksonerasi yang dicantumkannya dapat bertentangan dengan itikad baik (= kewajaran dan kepatutan), dan dengan demikian tidak dapat diterima (diizinkan). G.J. Scholten dalam anotasinya (komentar terhadap arrest tersebut) menyebut pemaparan kemungkinan keadaan-keadaan yang relevan itu ”yang paling penting dalam arrest itu”.

B.3. Pengaruh dari keadaan-keadaan.
Jadi, aturan dan keadaan-keadaan itu dua-duanya penting. Ilustrasi yang menarik dari hubungan antara aturan dan keadaan-keadaan adalah hal mencari dan menemukan pemberian bentuk yuridis yang tepat pada masalah pertanggung-gugatan untuk benda-benda yang digunakan (gebruikte zaken) pada pelaksanaan suatu perikatan.
Pada tanggal 4 februari 1959, Zentveld mengendarai mobil dereknya atau kendaraan pengungkitnya (kraanwagen) ke Ringvaart dan Haarlemmermeer, untuk kemudian, dengan dereknya mengangkat sebuah sayap kapal terbang Fokker dari sebuah ”dekschuit” keatas sebuah truk pengangkut. Setidak-tidaknya, itulah maksudnya. Sayang, ternyata terdapat suatu kesalahan material dalam konstruksi dari derek (kraan) itu, dan sayap kapal terbang itu jatuh ke bawah. Kerusakan pada sayap itu kemudian ternyata bernilai f. 1.604,57. Kemudian Fokker berusaha meminta Zentveld untuk mengganti kerugian itu berdasarkan tidak memenuhi perikatannya. Namun Zentveld sama sekali tidak menyetujui (tidak mau memenuhi) permintaan itu, dan persoalan itu menjadi perkara hingga sampai ke tangan Hoge Raad (HR 05-01 -1 968, NJ 1968, 102). Hoge Raad menimbang:
”Hukum perikatan Belanda tidak memuat aturan umum bahwa debitur harus menjamin cukup baiknya (deugdelijkheid) dari benda-benda yang digunakannya untuk pelaksanaan perikatannya ... dan (bahwa) keadaan yang untuk perjanjian-perjanjian tertentu undang-undang memuat aturan ini, tidak menyustifikasi kesimpulan berkenaan dengan adanya suatu asas umum yang memiliki daya jangkau yang demikian; bahwa pertanyaan sejauh mana debitur untuk kekurangan-kekurangan dari benda-benda yang sedemikian itu bertanggung-gugat, harus dijawab berdasarkan sifat dari perjanjian itu, pandangan-pandangan umum dan kewajaran (dapat tidaknya diterima akal).”

Hal terbentuknya perjanjian.
Tidak hanya pada penanganan masalah-masalah yuridis yang telah dikemukakan diatas, Hoge Raad semakin memperlihatkan memberikan perhatian pada keadaan-keadaan dari peristiwa itu. Juga pada ajaran tentang pembentukan perjanjian dan pertanyaan apakah suatu perjanjian telah terbentuk, Hoge Raad secara eksplisit menunjuk pada keadaan-keadaan dari peristiwa itu.
Dalam tahun 1976, Haviltex BV membeli sebuah mesin pemotong ”piepschuim” dari Ermes en Langerwenf. Perjanjian jual-beli itu memuat klausula yang memberikan kewenangan kepada Haviltex untuk hingga akhir tahun mengembalikan mesin itu dan setelah itu mempunyai hak atas harga pembelian yang telah dibayarnya. Dalam bulan juni 1976, Haviltex memang menyatakan mengembalikan mesin itu, tetapi Ia tetap menguasai mesin itu secara faktual sampai Ermes en Langenwenf akan membayar kembali harga pembelian itu kepadanya.
Di dalam perjanjian itu lebih jauh diatur bagaimana dalam keadaan biasa (normal), Haviltex harus membayar suatu bagian dari harga pembelian, yakni dengan menyerahkan 10 % dari keuntungan (laba) tahunan kepada Ermes, sampai harga pembelian itu terpenuhi. Pada akhirnya yang menjadi pokok penselisihan itu terpusat pada pertanyaan apakah Haviltex sekarang harus atau tidak harus membayarkan suatu bagian dari keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan mesin itu.
Rechtbank (pengadilan tingkat pertama) dan Hof (pengadilan tingkat banding) di‘s-Hertogenbos berpendapat tidak harus. Dalam perjanjtan itu tidak dimuat pengaturan yang berkenaan dengan itu. Lebih dari itu, Hof berpendapat bahwa perumusan dalam kata-kata dari perjanjian adalah jelas dan bahwa suatu penafsiran gramatikal (yang murni) tidak memberi peluang untuk kekosongan dalam pengaturan hubungan antara para pihak. Selanjutnya Hoge Raad mendapat giliran, dan setelah Hoge Raad menilai bahwa suatu penafsiran gramatikal tidak cukup, ia (Hoge Raad, penyadur) tentang pemberian jawaban terhadap pertanyaan bagaimana dalam suatu kontrak tertulis diatur hubungan antara para pihak, dan apakah kontrak ini mengandung kekosongan yang harus diisi (dilengkapi), menimbang sebagat berikut:
”Untuk menjawab pertanyaan itu, sebenamya akan sampai pada arti yang secara wajar oleh para pihak dalam keadaan-keadaan yang ada saling diberikan pada ketentuan ketentuan ini dan pada apa yang secara wajar tentang hal itu mereka saling mengharap kan dari masing-masing pihak. Terkait padanya juga penting:
— ke dalam Iingkungan kemasyarakatan apa para pihak termasuk, dan
— pengetahuan hukum apa yang dapat diharapkan dari pihak-pihak yang demikian.”
Lebih dari itu, Hoge Raad menunjukkan bahwa suatu kemungkinan tidak dapat diterimanya ”konsekuensi bahwa penjual sama sekali tidak memperoleh apapun sedangkan Haviltex akan dapat menikmati baik mesin itu, harga pembelian maupun keuntungan” akan dapat dilibatkan dalam mempertimbangkan kembali perjanjian yang ditutup antara para pihak. Hal mempertimbangkan kembali itu adalah tugas dan Hof di Arnhem, dan Hoge Raad sesudah kasasi menyerahkan perkara itu kepada Hof itu.

B.4. Sifat hukum dari penilaian tentang keadaan-keadaan.
Dalam uraian yang baru lalu, pentingnya keadaan-keadaan pada pengambilan keputusan hukum beberapa kali diberikan penekanan. Sekarang tiba saatnya untuk menelaah lebih lanjut karakter (sifat) dari penilaian terhadap keadaan-keadaan. Padanya harusditekankan bahwa penilaian terhadap keadaan-keadaan itu sendiri adalah suatu penilalan hukum. Mung kin saja bahwa hakim dapat berdasarkan keadaan-keadaan tidak menerapkan suatu aturan hukum, tetapi hal itu bukanlab persoalan pilihan (preferensi) individualnya. Juga disini dari hakim diharapkan (dituntut) suatu penilaian hukum, yakni berlandaskan pada dan dipertanggung-jawabkan dengan argumen-argumen yuridis yang dapat dikontrol dan diverifikasi.
Setelah uraian tadi, mungkin timbul kesan bahwa sesungguhnya kewajaran dan kepatutan sudah cukup untuk penyelesaian suatu masalah hukum. Bukankah dengan demikian semua aturan dikesampingkan. Ini akan merupakan suatu kesalah fahaman yang sangat serius. Tidak hanya kewajaran dan kepatutan itu sendiri yang harus dipandang sebagai ukuran, sebagai kaidah, tetapi juga dan terutama harus selalu diingat bahwa untuk penerapannya hanya dapat dilakukan (hanya ada tempat) jika keadaan-keadaan memberikan alasan untuk itu. Dan, hanya sesudah suatu pertimbangan yang cermat. Hukum disamping kepatutan tidak dapat dibayangkan (dipikirkan) tanpa kepastian. Dalam keadaan apapun, aturanlah yang terakhir menimbulkan, tetapi Juga sering yang pertama dan memberikan pada aspek-aspek ini, nilainya yang besar, atau jika dikehendaki, kewibawaannya yang besar. Kewajaran dan kepatutan bukanlah penyelesaian untuk semua masalah. Mereka harus digunakan dengan hati-hati dan, disamping perasaan, terutama dengan mengerahkan banyak pikiran.
Pada stadium proses penyelesaian kasus ini, kita sekarang sudah mengetahui kemungkinan-kemungkinan apa yang tersedia untuk keputusan akhir. Kita mengenal (mengetahui) aturan-aturan dan kemungkinan-kemungkinan interpretasi. Lebih dari itu, kita telah membuat kita sendiri akrab dengan semua keadaan dan persoalan yang terhadapnya harus diberikan keputusan. Sekarang sampailah pada pengambilan keputusan yang baik. Untuk itu disyaratkan bahwa argumen-argumen untuk kemungkinan-kemungkinan keputusan ditimbang dan dievaluasi secara cermat (langkah 6). Dalam beberapa kejadian dapat saja diperlukan pada penimbangan ini (c.q. memperhatikan ”tidak dapat diterimanya” hasil terakhir) untuk mengkualifikasi lebih spesifik fakta-iakta dan keadaan-keadaan atau untuk mereformulasi pertanyaan hukumnya.
Pada akhirnya, keputusan dan motivasi yang melandasinya masih harus dirumuskan secara jernih dan jelas (langkah 7). Hal ini membawa kita pada langkah ke-enam dalam proses penyemesaian kasus.

LANGKAH 6. MENGEVALUASI DAN MENIMBANG ARGUMEN-ARGUMEN.
A. Umum.
Dari pembahasan tentang interpretasi telah muncul kepermukaan bahwa untuk lebih dari satu interpretasi dari satu aturan hukum dapat diajukan argumen-argumen bagi masing masing. Sebagaimana sudah dikemukakan suatu keputusan tidak timbul langsung dari aturan-aturan hukum yang dapat diterapkan, tetapi ia juga harus ”ditemukan” dalam batas batas yang ditetapkan oleh aturan-aturan yang dapat diterapkan itu, keadaan-keadaan dan di dalam cahaya kemungkinan konsekuensi-konsekuensi untuk persoalan itu, berlandaskan atas argumen-argumen yang dapat diverifikasi. Karena itu langkah 5 (menerapkan aturan-aturan hukum pada kasus) pada umumnya tidak dapat dipandang terlepas dan langkah 6. Juga disini tampak jelas bahwa fase-fase (tahap-tahap) pada penyelesaian sebuah kasus itu sating bertumpuan (bersilangan). Keputusan itu turut dibentuk oleh pelbagai penilaian dan pendirian dari pengambil keputusan yuridis.

B. Hal menimbang.
Hal menimbang argumen-argumen bagi pelbagai alternatif (yang lain) dan hal memutuskan untuk satu penyelesaian konkret turut ditentukan oleh sikap dari pengambil keputusan yuridis berkenaan dengan gejala-gejala dan masalah-masalah individual dan kemasyarakatan.
Pertimbangan itu dapat turut dipengaruhi oleh motif-motif dan dorongan-dorongan (kecenderungan-kecenderungan) politiknya, adat-istiadatnya, ekonominya, kemasyarakatannya, keagamaannya, etikanya dan lain-lain. Dalam ruang gerak yang dibiarkan terbuka oleh aturan-aturan hukum yang dapat diterapkan, maka dimungkinkan adanya lebih dari satu interpretasi.

C. Pertimbangan hakim.
Hal menimbang argumen-argumen tampak paling kuat pada putusan hakim. Hakim menerima argumen-argumen dari kedua belah pihak, dan ia menguji mereka (argumen-argumen tersebut, penyadur) dan penyelesaian yang disarankan mereka pada (singkat kata) konformitas dengan sistem yuridis dan pandangan-pandangannya sendiri tentang keadilan dalam suatu kejadian konkret. Dan ruang gerak yang tersedia baginya adalah paling luas dimana penafsiran dari suatu istilah undang-undang yang kabur memainkan peranan atau dimana harus ditemukan hukum diluar kata-kata dari undang-undang.
Apakah ini karena itu berarti peradilan “subjektif, artinya putusan-putusan hakim yang, karena suatu pedoman dalam undang-undang dan dalam sumber-sumber hukum lain tidak ada atau (hanya) diletakkan dalam ukuran-ukuran yang luas, sesuai dengan selera pribadi dari hakim?
Langemeijer, salah seorang yuris yang terkemuka di Belanda, tentang hal ini telah mengatakan: “Bila undang-undang dan ”kesadaran umum” berdiam diri, maka keputusan dari orang, yang tidak mempunyai tujuan lain selain mewujudkan hukum dan terdidik (terlatih) didalam menimbang kepentingan-kepentingan dan argumen-argumen, adalah masih yang terbaik yang terhadapnya orang dapat memberikan kepercayaan. Asalkan ia masih memiliki sifat, yang mutlak harus dimiliki oleh seorang hakim yang baik : zelfknitiek (kritis terhadap diri sendiri atau mampu mengkritik diri sendiri). Seorang hakim yang baik harus, jika ia dihadapkan pada suatu penyelesaian, yang memuaskannya, juga memiliki sedemikian banyak pengetahuan tentang dirinya sendiri sehingga ia dapat mempertanyakan kepada dirinya sendiri apakah kepuasan itu tidak berkaitan dengan preferensi-preferensi, yang ia ketahui bahwa tidak setiap orang merasakannya dengan cara yang sama dan sedemikian banyak pengetahuan tentang masyarakat sehingga ia dapat mengetahui yang (disebut) terakhir ini. Hanya setelah mampu mengatasi pengujian yang terakhir ini maka penilaiannya, yang, terpaksa, kreatif, akan tidak subjektif lagi.

LANGKAH 7. FORMULASI PENYELESAIAN.
Jika setelah menjalani pelbagal tahapan dalam proses penyelesaian dan menimbang semua pro dan kontra, pada akhirnya penyelesaian kasus itu ditemukan, maka tentang semuanya itu harus dibuat laporan.
Dan para yuris dapat diharapkan bahwa mereka membangun  (menyusun) jawaban mereka secara logis, yang dengan itu tampak bahwa semua fase atau langkah proses penyelesaian telah dijalani, yang demikian itu jika mungkin menurut tata urutan tahap demi tahap, agar tidak misalnya konklusi dikemukakan terlebih dahulu dan kemudian harus diberikan catatan bahwa argumen-argumennya, setelah dipikir lebih dalam, terlalu lemah.
Pemaparan penyelesaian terakhir dari suatu kasus harus memenuhi beberapa persyaratan pokok yang pada umumnya dapat diberlakukan pada setiap bentuk pelaporan (rapportage), seperti susunan yang berstruktur dan pembagian serta pembahasan butir demi butir, menghindari konstruksi kalimat yang jelimet, dan sebagainya.


0 komentar:

Posting Komentar